Thursday, January 29, 2009

Anak ku dibantu OKI


Identitas klien:
Nama : Siti
Alamat : Lambaro Angan
Pekerjaan : Penjual Gorengan
Case klien:
Dulu sebelum tsunami saya tinggal dilampulo bersama suami dan anak-anak. Kami menyewa rumah disana karena pekerjaan suamiku adalah penjual ikan. Sampai pada suatu hari tsunami merenggut nyawa suamiku di daerah Lampulo yang terkenal dengan dampak bencana yang hebat. Kebetulan ketika tragedi tsunami itu, aku dan anak-anak pulang kerumah orang tua yang di daerah Lambaroangan, kamipun selamat dari maut. Syukur Alhamdullillah memang, tetapi apaguna nya hidup kalau tidak ada lagi yang membiayai kehidupan keluarga ku lagi. Makan, tempat tinggal, uang sekolah anak serta kebutuhan sehari hari lainnya. Sekarang aku lah yang menjadi tulang punggung keluarga, aku menjadi tukang cuci untuk menutupi biaya harian. Sedangkan tempat tinggal, aku kembali menumpang dirumah orang tua di Lambaroangan.
Sampai suatu hari aku membaca iklan dikoran, Rumoh PMI. Inilah saat yang tepat untuk mencurahkan segala isi hatiku. Aku membuat pengaduan, anak-anakku butuh biaya sekolah untuk melanjutkan pendidikannya. CAU memediasikan masalahku ke Lembaga OKI, yang mempunyai program memberikan bantuan beasiswa untuk anak Yatim. Aku memasukkan data kedua orang anakku, yang TK dan yang SD kelas 2.
Alhamdullillah sekali lagi, Tuhan mendengar doa ku. Anakku yang TK lulus seleksi sebagai penerima manfaat beasiswa. Anak ku mendapat beasiswa Rp.200.000 / bulan sampai umurnya 18 Tahun, sungguh sangat membantu sekali. Kini aku sudah menikah kembali, apakah anak ku yang kelas 2 SD yang belum mendapatkan bantuan masih bisa mendapatkan beasiswa lagi?, CAU memberi informasi bahwa kriteria OCI (Organization Conference Islam) yaitu anak Yatim, ibunya masih janda.

Wednesday, January 28, 2009

Tim Advokasi Palang Merah ke wilayah Aceh bagian Barat

Kali ini tidak dengan Land Cruiser, tapi Double Cabin. Kenyataannya, untuk ukuran tiga orang penumpang terasa lebih efisien, nyaman, dan jauh dari goncangan. Kami—Afrizal, Bambang, Bang Zul—benar-benar menikmati field trip kali ini. Rute kami jelas: dari Banda Aceh menuju Lamno-Calang-Meulaboh. Target kami terang: sembilan klien dengan satu kasus komunitas. Perjalanan yang panjang, tapi sungguh berkesan. Di samping melelahkan, aslinya adalah mendebarkan. Siapa menduga, di tengah prakiraan BMG bahwa ranah Aceh rawan hujan dan banjir, longsor dan gelombang pasang juga tidak terelak. Teringatlah kita kabar-kabar dari media massa bahwa beberapa titik di wilayah NAD sungguh tak lazim untuk dilalui. Barangkali sebab alasan itu pula Security IFRC awalnya enggan membiarkan kami melaksanakan field trip lebih cepat.
Region 3 patutnya berterima kasih kepada Sdr. Bambang Nurcahyo S dari Region 1. Jika bukan karena kesediannya, perjalanan kali kedua ke weastcoast ini nyaris tidak terlaksana. Baru saja kembali dari Pidie dan Bireun—tentunya penat, laporan juga menunggu deadline, tapi ia masih meluangkan waktu mendampingi perjalanan lebih jauh ke lokasi terparah diamuk Tsunami. Inilah hasil reportase field trip kami.
Tim advokasi Palang Merah Irlandia berangkat dari Banda Aceh saat cuaca sudah mulai gerimis. Tiba di Lamno puluhan menit sebelum waktu yang dicanangkan. Seizin dari Radio Room Banda Aceh, kami menaiki dua kali rakit penyeberangan untuk sampai di desa klien. Sebab jika harus melewati rute normal butuh waktu lebih lama untuk mencapai tujuan. Perubahan timing aktivitas sudah terjadi sejak di Lamno, tidak terelak mengingat kondisi riil di lapangan yang memestikan pergeseran.
Sepanjang hari pertama field trip tim advokasi hanya bertemu satu klien di Lamno. Selebihnya adalah perjalanan menuju kota Calang. Perjalanan yang mulanya diperkirakan sampai sesuai harapan, jauh meleset dari dugaan. Awal yang bikin waktu molor saat mobil kami dihadang antrian sebab satu truck dan satu mobil pick up Toyota Hilux terjerembab dalam lumpur di desa Teumareum (Kec. Jaya). Seperempat jam kemudian mobil berhasil ditarik atas bantuan warga setempat. Umumnya kondisi jalan setelah itu adalah kubangan berlumpur dan jalan bebatuan yang dalam tahap pengerasan.
Waktu sudah pukul 15.55 ketika kami tiba di jembatan Alue Groe (Kec. Sampoiniet). Di sini kami harus berhenti selama setengah jam karena satu truck pembawa logistik didapati mogok di depan bibir jembatan, sementara dua ban sebelah kirinya tidak cukup power menaiki tanjakan yang sedikit berl(k)ubang. Pukul 16.31-18.08 adalah masa-masa tersulit dalam perjalanan hari pertama. Di Gunong Panteu (masih di Sampoiniet) puluhan kendaraan roda empat sudah berjejer tidak bisa melalui jalan yang sedang ditimbun. Sebabnya adalah sebuah Tronton yang sudah tiga hari tersangkut dalam kubangan lumpur. Selain beban kendaraan berat, rawan longsor, badan jalan yang ditimbun juga terlalu kenyal untuk dilalui. Beberapa yang kami catat, mobil IFRC, M6, dan CRCS ikut terjebak dalam antrian panjang ini. Kalau kami khawatir--itu pasti--setidaknya ada dua alasan: pertama, tidaklah mungkin kami akan sampai di kota Calang dalam waktu yang ditentukan. Dua jam yang seharusnya bisa ditempuh untuk sampai di kota tujuan justru dihabiskan untuk menyaksikan bantuan buldoser menarik beberapa kendaraan berbeban berat. Kedua, tidak ada sinyal selular yang bisa kami gunakan untuk mengkomunikasikan keadaan kami ke pihak-pihak yang relevan, terutama Radio Room di B. Aceh. Di antara harap-cemas, disebut-sebut 300 meter berjalan arah mendaki dari lokasi bisa menjangkau sinyal handphone. Sehingga tersambunglah kami dengan Radio Room dan rekan-rekan IRCS di B. Aceh. Sekurangnya, beberapa pihak yang bisa dihubungi memaklumi bahwa kami dalam masalah.
Penantian yang menjemukan akhirnya usai. Secara konvoi beriringan mobil IFRC, M6, dan CRCS kami menuju kota Calang. Selama dalam perjalanan kami terus mengabari Radio Room Calang dan Banda Aceh perihal tempat-tempat yang kami singgahi, khususnya jika terdapat kendala yang berarti. Tiba di kota Calang melewati waktu Isya, selanjutnya ke penginapan*) merehatkan badan. Usai sudah kegiatan di hari pertama: 03-12-08.
04-12-08. Hari kedua. Tim advokasi Palang Merah Irlandia menemui satu klien di kota Calang. Meski klien berdomisili di kota Calang, TKP kasus berjarak 20 KM ke arah B. Aceh. Seperti biasanya kami sempat singgah di kantor PMI Aceh Jaya untuk distribusi tabloid Rumoh PMI. Menjelang siang kami meninggalkan kota Calang menuju kota Meulaboh. Sempat bertemu dengan banjir di jalan raya desa Kayee Lon-Teunom tapi bukan masalah berarti. Hingga akhirnya tim tiba di kota Meulaboh pukul 14.02.
Harusnya di jadwal kunjungan tim advokasi bertemu klien bernama Sarifah. Namun karena nomor handphone klien tidak bisa dihubungi, tim advokasi berinisiatif mengadakan stakeholder meeting dengan LSM KOTIP Meulaboh. KOTIP adalah koalisi NGO untuk transparansi dan rehabilitasi Aceh dan Nias. Basis LSM lokal ini bermitrakan LSM-LSM lokal/nasional yang konsern pada kasus-kasus korupsi dan sejenisnya. Selama diskusi kami didampingi oleh Sdr. Saiful Asra dan Mursyidin dari KOTIP. Boleh dibilang, advokasi yang mereka jalankan lebih pada model kerja semisal Gerak/Sorak di Banda Aceh. Sebab bagaimanapun kesemua lembaga tersebut merupakan mitra yang partisipatif.
Menjelang petang tim bertemu dengan klien I di kota Meulaboh yaitu Ibu Sania, tepatnya di desa Ujong Baroh. Janda Tsunami ini berstatus penyewa pra/pasca-Tsunami. Ia sudah melayangkan komplain ke BRR beberapa kali, tapi haknya belum juga terpenuhi. Tim advokasi Palang Merah Irlandia menyempatkan melihat lokasi rumah Tsunami yang ia sewa dulu yang sekarang sudah dibangun rumah bantuan BRR dan didiami oleh pemiliknya. Klien juga menunjukkan pada tim advokasi lokasi tanah kosong yang dia beli sekonyong-konyong untuk mempercepat kriteria bantuan BRR.
Pada hari ketiga tim advokasi Palang Merah Irlandia bertemu empat klien, masing-masing di desa Ujong Baroh, Kuta Padang, Suak Indrapuri dan Suak Ribee (Kec. Johan Pahlawan). Semua klien masih berada di dalam kota Meulaboh. Di sela-sela kegiatan verifikasi data tersebut tim advokasi membagi tabloid Rumoh PMI dan brosur jender. Walhasil satu klien yang sudah direncanakan tidak bisa dikunjungi oleh sebab keterbatasan waktu. Kecuali itu, hujan mengguyur bumi T. Umar di hari akhir kegiatan verifikasi data CAU.
Pagi hari Sabtu. Cuaca di luar masih sembab. Jalan-jalan raya di kota Meulaboh terlihat basah. Beberapa di antaranya tertutupi genangan air. Maklum curah hujan semalam begitu deras. Seperti hari pertama keberangkatan tim advokasi ke Calang dan Meulaboh, kepulangan tim juga mengalami kendala yang sama. Khususnya di desa Kayee Lon-Teunom dan Gunong Panteu, di mana banjir dan antrian truk berbadan besar terjebak dalam kubangan lumpur masih terjadi. Bedanya, kali ini tim tiba lebih awal di Banda Aceh, meski senja baru saja kehilangan kulum siluetnya.

PDAM masuk Desa

Identitas klien:
Nama : Maimun Fikri
Id : 11711437
Alamat : Lingke

Issue case:
Pengaduan Maimun mengenai air yang belum masuk ke daerah Lingke, padahal meteran sudah dipasang oleh pihak PDAM, setelah tsunami air PDAM putus total, untuk pengerjaan awal setelah tsunami PDAM hanya memasang pipa induk di jalan raya belum masuk kedalam Desa Lingke. Setelah sekian lama warga Lingke menunggu untuk pemasangan pipa ke lorong Lingke, akhirnya warga memotong jalan pintas. Mereka memotong/ mencuri air yang dari pipa induk dengan cara mereka sendiri, tentu saja hal ini merugikan pihak PDAM. Tetapi kenikmatan akan air bersih sudah dapat mereka rasakan tanpa harus membeli air.
Beberapa bulan warga Lingke menikmati segarnya air PDAM tiba-tiba air putus kembali. Warga pun harus kembali membeli air seperti bulan-bulan sebelumnya. Hingga akhirnya klien membuat pengaduan ke Rumoh PMI (tim advokasi Palang Merah Irlandia) dalam memediasi permasalahan Maimnu Tim advokasi mencoba bernegosiasi dengan pihak PDAM dan hasil yang diperoleh dari pihak PDAM untuk saat ini memang masih ada pengecekan pipa yang sudah dipasang oleh NGO asing bahwa masih ada yang pipa bocor. tunggu dan harap bersabar katanya. Tanggal 22 January 2009 tim Advokasi palang merah irlandia kembali menelusuri permasalahan tersebut hasilnya alhadulillah air PDAM sudah mulai masuk pak Maimun dan warga lainnya sangat senang sekali karena tidak perlu lagi membeli air.

Pesan BRR: Tunggu aja dan Sabar

Nama : Ferry Sucandra
Umur : 31
Alamat : Desa Ujong Baroh, Kec. Johan pahlawan, Aceh Barat

Tim advokasi Palang Merah Irlandia baru bisa menemui klien (Ferry Sucandra) di bulan terakhir 2008. Tertunda beberapa bulan sejak klien membuat pengaduan Agustus lalu. Bapak dua anak ini korban Tsunami di desa Suak Indrapuri sebelum sekarang menetap di Ujong Baroh bersama keluarga mertuanya. Di tempat pertama di mana ia terkena Tsunami, Ferry merupakan penyewa rumah. Mulanya bersama orangtuanya sejak 1983. Lantaran menikah pada Mei 2004, KK-nya dipisahkan dari KK lama. Hubungannya dengan BRR sudah dimulai usai awal musibah Tsunami. Ia menuruti semua ketentuan pemangku kebijakan—dalam hal ini BRR—sesuai peraturan. Datanya dinyatakan valid sebagai penerima manfaat bantuan BRR untuk katagori BSBT. Tanah yang diminta untuk relokasi juga sudah ia siapkan, meskipun tanah tersebut merupakan hibah dari keluarga mertuanya. Lama menunggu, sebab Ferry juga disibukkan dengan pekerjaan sosial, yang secara tidak langsung menisbikannya secara rutin berurusan dengan BRR. Manakala ruang untuk bertanya tersampaikan, jawaban dari BRR adalah menunggu dan sabar. Harapannya mungkin besar, tapi kini lebih besar karena tim advokasi Palang Merah Irlandia sudah mendampinginya. Setidaknya ia tidak sendiri, tidak lagi sepi. Jika pun harus menunggu dan sabar, barangkali agar lebih wise, dan pada gilirannya menjadi filosof.

Rumah Bantuan: Harapan Tiada Padam

Nama : Sania
Umur : 41
Alamat : Desa Ujong Baroh, Kec. Johan Pahlawan, Aceh Barat

Beban keluarga rasanya terlalu berat bila dipikul oleh seorang ibu, terlebih jika harus menyandang status janda. Ibu Sania, ibu dari lima orang anak. Suaminya meninggal lima tahun sebelum musibah Tsunami. Tetapi Tsunami pula yang membuatnya tegar hingga hari ini. Semua hikmah diteguknya meski kebenaran belum seutuhnya berpihak. Miris justru karena haknya belum terpenuhi, justru di akhir masa pelaku kebijakan rehan dan rekon di Aceh. Menumpang di rumah orang, meski masih saudaranya, ia lakoni selepas Tsunami. Ihwal cerita, Ibu Sania adalah penyewa rumah di Kampung Belakang. Sudah sejak menikah rumah itu ditempati hingga musibah Tsunami mengubah segalanya. Lima anak menjadi tanggungannya. Tertua sedang kuliah, terkecil masih sekolah dasar. Sandarannya hanya pada sayur-rempah yang digelar dari pagi hingga menjelang petang. Berawal dari sebuah perbincangan di radio, ibu ini melontarkan komentar. Syahdan, di awal bulan Desember 2008 tim advokasi Palang Merah Irlandia dapat melihat lebih dekat kondisi yang ia alami. Ceritanya tentang BRR adalah hikayat kepasrahan. BRR yang memintanya menyediakan tanah untuk rumah bantuan, namun harapan terasa di angan. Payah-susah tanah dibeli di tengah malam, tapi keinginannya belum terkabulkan. Berita yang ia simak bahwa datanya valid dan BRR akan membangun rumah satu minggu setelah meninjau lapangan. Gambar denah sudah terekam. Tapi sampai hari ini, di atas tanah itu, di Suak Ribee, hanya tersisa rumput-ilalang. Tidak ada pondasi bangunan. Belum ada kepastian. Hambar rasanya sebab pemilik rumah sewaanya telah menikmati rekon rumah bantuan. Sementara ia dan lima anaknya masih terus menunggu secercah harap.

20 Tahun Menyewa, Tidak Dapat Rumah Bantuan

Nama : Muslim/Ismail Halwan
Umur : 37/60
Alamat : Desa Rundeng, Kec. Johan Pahlawan, Aceh Barat

Lebih 20 tahun keluarga Ismail Halwan menetap di kota Meulaboh. Selama masa tersebut keluarga perantau dari Aceh Utara itu berpindah dari satu rumah ke rumah lain sebagai penyewa kendati di desa berbeda. Terakhir, baru 2 bulan memperpanjang sewa rumah, musibah Tsunami datang. Rumah sewa hancur, dibangun lagi, lalu didiami pemiliknya, sedang biaya sewa berjalan gugur. Setelah Tsunami menetap di rumah sewa anaknya. Di lingkungan berbeda, masih di desa yang sama. Saat tim advokasi Palang Merah Irlandia tiba, baru 2 bulan terakhir klien menyewa rumah di desa Rundeng. Dari informasi yang diterima, klien sudah mengurus rumah bantuan sebagai jatah penyewa (BSBT) di awal pasca-Tsunami. Oleh aparat desa, berkasnya dinyatakan hilang. Otomatis oleh BRR data dan namanya sebagai benef tidak tertera. Lantas, permohonan diajukan kembali. Tahun 2007 lalu terakhir kali klien menanyakan kasusnya ke BRR. Jawaban yang sama, bahwa data klien tidak sampai ke BRR. Di lain pihak, salah satu anaknya—sudah berkeluarga sebelum Tsunami dan tinggal di lingkungan berbeda—sudah mendapatkan rumah bantuan relokasi karena lebih dulu membeli tanah di Suak Ribee. Klien bahkan sudah meminta bantuan Ibu Cut dari BRR yang sebelumnya memudahkan pengurusan rumah bantuan korban Tsunami. Dengan sedikit kompensasi ada sinyalemen bahwa kasus pemilik rumah ganda akan dicabut dan salah satunya diserahkan pada yang mengurusnya. Kenyataannya, sampai hari ini tanda-tanda bantuan tersebut belum kelihatan. Sialnya, si penyedia kemudahan tidak bisa dihubungi setiap kali didial. Semoga ada jalan di ujung tikungan!

Berharap Modal Usaha Tapi Tidak Siap Anggunan

Nama : Edy Zulfahmi
Umur : 32
Alamat : Desa Rundeng, Kec. Johan Pahlawan, Aceh Barat
Klien merupakan korban Tsunami di desa Arongan Lambalek. Setelah menikah pindah ke kota Meulaboh. Sudah enam bulan ini bersama istri dan buah hatinya ia menyewa sebuah rumah di kawasan Rundeng, sekaligus sebagai tempat usaha advertisementnya. Usaha klien memang belum memiliki izin, tetapi nyaris lengkap untuk peralatan yang diperlukan. Dulu, tuturnya, klien bekerja di tempat usaha orang lain. Setelah mandiri kini klien mempunyai 1 set PC, 2 Printer dan beberapa logistik percetakan pendukung sablon lainnya. Menurut pengakuannya omsetnya bisa membludak pada waktu awal ajaran sekolah atau saat peringatan berbagai even tanggal merah. Klien sangat berharap usahanya tumbuh maju. Tertarik dengan iklan advokasi di Serambi Indonesia, ia memohon bantuan Palang Merah Irlandia. Tim advokasi tiba awal Desember 2008 di kediamannya, menjelaskan perihal isu livelihood yang ia tanyakan. Meski bisa mengerti bahwa konsentrasi advokasi Palang Merah Irlandia sebatas pendampingan dan fasilitasi, klien tetap ingin dibantu tambahan modal. Inilah keinginannya: [a] mempunyai toko sewa di tempat strategis di pinggir jalan--sekitar + Rp 10-15 juta/tahun; [b] dukungan material pelengkap jenis reklame; [c] –yang terakhir ini barangkali keluhannya—sudah mensurvey beberapa bank yang relevan tetapi semuanya simpan-pinjam, semuanya juga mensyaratkan anggunan. Sekali lagi: semuanya mensyaratkan anggunan. Rekan-rekan tim advokasi, bisakah beritakan pada kami kemana cerita ini digadaikan?!

Warga Kuala Menuntut Janji Pejabat

Nama : Saprijal
Umur : 30 tahun
Alamat : Desa Kuala, Kec. Jaya, Aceh Jaya

Saprijal mengirim pengaduan kepada tim advokasi Palang Merah Irlandia pada akhir Oktober lalu. Ia melaporkan tentang ketiadakonsistenan China Red Cross—dalam hal ini melalui pada Palang Merah Indonesia (Aceh Jaya [?])—yang pada saat serah terima rumah oleh Ketua PMI Pusat, Marie Muhammad, dijanjikan adanya isi kamar dan peralatan dapur. Diperkirakan jumlah mobiler tersebut mencapai angka Rp 15 juta per KK. Nyatanya ketika rumah bantuan siap dihuni ranjang yang diberikan bukan merek Olympic, diganti dengan ranjang yang kualitasnya di bawah standar dengan dugaan harga Rp 500 ribu. Lagi pula tidak ada bantuan peralatan dapur sebagaimana dijanjikan. China Red Cross membangun sebanyak 284 unit rumah di tiga dusun: 164 unit di dusun Kuta Rambe dan Kuta Ujung dan 120 unit di dusun Bahagia. Dari jumlah tersebut hanya satu unit rumah dijadikan model percontohan dengan pengerjaan fisik yang lumayan berkualitas. Akan tetapi bagaimanapun, tetap saja tidak ada pemenuhan mobiler standar sebagaimana dikeluhkan klien. Hasil verifikasi tim advokasi menunjukkan banyak ranjang bantuan sudah lapuk, beberapa bagian bahkan sudah patah. Bagian platfon pada sudut tertentu juga retak-retak. Perwakilan warga sudah mengkonfirmasi kepada PMI Aceh Jaya, tapi tidak ada informasi yang bisa difollow up. + 1 tahun klien dan warga lainnya sudah menempati rumah bantuan itu. Pantauan tim advokasi, dibandingkan rumah bantuan dari lembaga lain, China Red Cross membangun rumah tersebut dengan apik dan tertata. Mata rasanya nyaman melihat keindahan fisik rumah dari arah depan. Masalah sederhana sebenarnya, hanya karena kata-kata ketua PMI Pusat yang menganggarkan mobiler rumah Rp 15 juta. Semakin rumit, karena klien juga mengadu tentang absennya NGO yang konsentrasi di bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat di desa tersebut. Rata-rata mata pencaharian warga adalah nelayan. Desa Jaya dipisahkan oleh sungai besar Lamno bermuara ke laut lepas yang mesti ditempuh dengan penyeberangan rakit. Untuk isu terakhir itu tim advokasi menyarankan klien agar merujuk pada koperasi/bank pengkereditan di kota Lamno. Semata-mata di luar jalur itu tim advokasi Palang Merah Irlandia turut pula menelusuri referensi lain yang kiranya pantas untuk memenuhi hasrat warga. Insya Allah!

Tetap Menunggu Meski Data Sudah Valid

Nama : Irvan
Umur : 23
Alamat : Desa Bahagia, Kec. Kr. Sabee, Aceh Jaya
Irvan membuat pengaduan kepada tim advokasi Palang Merah Irlandia via SMS tentang bantuan rumah yang belum diperoleh orangtuanya sampai hari ini. Keluarganya merupakan korban Tsunami di desa Lageun kec. Setia Bakti, Aceh Jaya. Irvan saat itu masih berstatus mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di kota Meulaboh. Sekarang dia bergabung dalam tim relawan di PMI Aceh Jaya untuk program Psycosocial Support. Rumah orangtuanya hancur porak poranda ketika Tsunami, kebetulan persis di ujung bibir jembatan, hanya ratusan meter dari bibir pantai. Usai musibah keluarganya mengungsi, mula-mula, ke Banda Aceh. Bertahan tiga bulan, akhirnya menetap di Calang, sampai sekarang. Bukan tanpa alasan kalau pada gilirannya tanah bekas rumahnya tersebut dijual karena menurut dugaannya tidak layak lagi menetap di Lageun, di samping ada isu perluasan badan jalan raya yang barangkali akan mengambil berapa pun bagian tanah dari bekas rumahnya. Malangnya, pantauan tim advokasi di lapangan, di bekas tanah tersebut sekarang sudah dibangun rumah bantuan oleh NGO Samaritan, meskipun bentuknya seperti rumah kopel berjejer dan berukuran lebih simpel. Tentunya rumah itu bukan lagi milik orangtua Irvan. Sejak dijual, status kepemilikan berubah. Orangtua Irvan mendapat bantuan satu shelter saat mengungsi di Calang. Mereka tinggal di shelter tersebut di atas tanah militer setempat. Tentang hak bantuan rumah untuknya sudah diurus sejak awal usai Tsunami. Pertama-tama jatah bantuan a.n. Mahyuddin (orangtua Irvan) terdaftar di Lageun. Lantaran tidak punya tanah lagi statusnya dimasukkan dalam daftar korban relokasi. Orangtuanya membeli tanah di Kampung Blang yang diharapkan bantuan rumah dapat dibangun di tempat tersebut. Meski belum tahu kepastian pembangunan, pengakuan orangtuanya, nama Mahyuddin dinyatakan valid oleh Asperkim BRR Aceh Jaya, Ampoen Jal, dan berhak atas rumah bantuan. Sebab di samping tanah kosong tersebut, orangtua Irvan juga sudah membangun sejenis toko kelontong sebagai tempat usahanya. Telusur punya jejak, kabarnya tidak lama lagi BRR—melalui subrekanan kontraktor—akan segera memulai pengerjaan rumah bantuan. Kabarnya awal tahun, mungkin Januari. Tim advokasi Palang Merah Irlandia akan senatiasa memantau perkembangan kasus ini.

Friday, December 5, 2008

Perjuangan Panjang Marzuki


IDENTITAS KLIEN
Nama : Marzuki (11711301)
Contact : +6285260473xxx
Alamat : Kampung Mulia, Banda Aceh

Marzuki mengadukan permasalahan yang dihadapinya ke Rumoh PMI (Tim Advokasi Palang Merah Irlandia) mengenai permohonan bantuan yang sudah pernah diajukannya beberapa tahun yang lalu. Marzuki pernah mengajukan permohonanke ADB dan BRR, tetapi belum ada realisasi dari kedua lembaga tersebut, Sampai akhirnya tim Advokasi palang merah Irandia memediasi klien dengan pihak ADB.

Tim Advokasi Palang Merah Irlandia mendampingi Marzuki untuk mengunjungi BRR untuk melihat apakah Marzuki sudah terdata di database BRR, ternyata benar nama klien masuk di dalam daftar orang orang yang datanya valid di verifikasi BRR. setalah lama menanti realisasi belum kunjung tiba, akhir Penantian yang panjang akhirnya membuahkan hasil, dari hasil negosiasi dengan ADB untuk dimasukkan menjadi salah satu penerima manfaat, setelah pengumuman dikeluarkan. Tidak lama selang satu bulan beserta 4 penerima manfaat yang secara bersamaan di desa Kampung Mulia dimulai pembangunan dan sekarang sudah selesai 45% tahap pembangunan rumah dan tentunya Marzuki dan isteri sangat bahagia.
by; Sri Nurhayati Selian