Thursday, November 20, 2008

Janda korban Konflik beranak tiga tidak ada tempat tinggal

Name : Rosliani
Address : Jl. Alue Blang No. 1 Neusu
Hp : 081269123030
Activity : Problem identification session

Nasib seorang Ibu

Rosliani mengirim sms ke rumoh PMI tanggal 5 November 2008, ia mengadu tentang rumah dan beasiswa untuk anaknya, sangat malang nasib ibu Rosliani harus menghidupi anak-anaknya dengan bekerja keras sebagai tukang urut dan membuat kue basah untuk dijual dikios kecil dan warung kopi, penghasilan yang tidak seberapa itu Ibu Rosliani harus makan dan menyekolahkan tiga anak masih aktif sekolah, dua anak kembarnya Ahmad Munawar dan Ahmad Munawir sekarang di SMU kelas 2 Yayasan Fajar Hidayat Aceh Besar sedangkan yang bungsu masih kelas 6 SD negeri 34 Neusu Aceh.

Selain mengharapkan beasiswa untuk anak-anaknya juga sangat mengharapkan bantuan rumah untuk korban konflik ataupun rumah untuk kaum duafa seperti dia, rumahnya di bakar di Aceh tengah-Takengon dimasa konflik setelah kejadian tersebut semua keluarganya ke Banda Aceh dan tinggal dirumah mertua yang kondisinya rumah sangat sederhana dan memprihatinkan, namun Rosliani sangat sabar dan tabah menghadapi hidupnya bersama anak-anaknya dan hidup dirumah mertua dengan tiga kepala keluarga di rumah mungil.

Rosliani mengharapkan ada lemab

Janda Tua yang Tidak Kebagian Rumah


Nama Client : Siti Aisyah
Pelapor : Suryadi
No HP : 0812 6960 0xxx
Alamat : Goheng – Stui Banda Aceh
Activity : Problem identification session


Sebelum tsunami Siti Aisyah menyewa rumah di Goheng Stui. Siti Aisyah telah lama ditinggalkan oleh suami yang meninggal karena sakit. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya beliau bekerja sebagai tukang cuci dari rumah ke rumah. Karena dari itu pula orang orang sering memanggilnya dengan “kak mala Tukang cuci”. Sekarang usianya sudah masuk kepala 6 dan semua anaknya telah berkeluarga.

Pada tanggal 14 Oktober 2008, Anak Siti Aisyah yaitu Suryadi membuat pengaduan ke Rumoh PMI. Pada tanggal 27 Oktober 2008, Tim Advocacy menghubungi Suryadi lewat telpon untuk verifikasi awal. Menurut pengakuan Suryadi, Ibunya Siti Aisyah telah memasukan proposal ke BRR. Kemudian dari BRR di rujuk ke Budha Suci. Siti Aisyah telah menjalani proses verifikasi dan interview dan beliau termasuk calon penerima rumah bantuan Budha Suci. Sampai pada suatu hari Budha Suci menghubungi Suryadi meminta agar Siti Aisyah datang ke kantor untuk menandatangani suatu surat penting. Tapi pada saat itu Suryadi berada di luar kota dan ia menghubungi keponakannya untuk membawa Siti Aiyah ke kantor Budha Suci tapi keponakannya tidak sempat membawa neneknya karena sibuk kuliah. Setelah Suryadi pulang ke Banda Aceh ia membawa ibunya ke kantor Budha Suci tapi nasib berkata lain, ternyata nama Siti Aisyah sudah di coret dari daftar penerima rumah bantuan Budha Suci dengan dalih tidak datang pada saat dihubungi.

Pada tangal 14 November 2008, tim Advocacy melakukan kunjungan lapangan untuk melakukan verifikasi tahap II. Tim Advocacy bertemu dengan Siti Aisyah. Beliau tinggal seorang diri di desa Lampenerut sebuah rumah yang tidak layak huni. Rumahnya terbuat dari papan dan triplek bekas serta masih berlantaikan tanah. Di sekeliling rumahnya terdapat kandang ayam dan bebek yang jaraknya cuma 1 meter dari rumah beliau. Sungguh sangat tidak sehat, siang itu Siti Aisyah sedang asyik membuat kandang ayam. “ada orang kasih bebek, jadi kandang nya harus di buat” katanya dengan nada senang. Ternyata semua kandang yang telah ada di buat oleh Siti Aisyah, benar2 seorang nenek yang mandiri. Siti Aisyah terlihat masih sangat segar bugar meskipun usianya telah lanjut. Semua kebutuhan aktivitasnya dilakukan seorang diri di rumah mungil itu. Ia tidak mau menyusahkan anak-anaknya meskipun mereka telah berkeluarga.

Tim advocacy akan melakukan kunjungan ke Goheng, tempat tinggal Siti Aisyah pada saat terjadi gempa Bumi dan Tsunami, untuk bertemu dengan orang-orang terdekat Ibu Siti sebelum Tsunami, Ibu Siti mengharapkan ada Pihak yang mau membantu dia dalam menjalani hari-hari tuanya.
By : Lenni Octoria

Friday, November 14, 2008

tried to solve watsan cases

Issue: Clean Water
Type of activity : Stakeholders Meeting

There are 55 community cases we handled in Aceh Besar, 22 community in Banda Aceh, 4 community in Bireun, 8 community in Pidie, 4 community in Aceh Barat, all these community are related to Clean water, first step in our mind is mapping all stakeholders working in WATSAN program and then we found UNICEF is one of big funding in WATSAN program. Then we arranged to meet with Mr. Yap Winarto as a Project Officer Sanitation WES section UNICEF. The result of this meeting were the UNICEF say they not implemented directly WATSAN program but UNICEF funding some NGOs to implementing WATSAN program and the UNICEF gave us list of NGOs that UNICEF funded in WATSAN program in Aceh, after we plan to discuss directly with NGOs funded by UNICEF to solve cases we handled which cases related to WATSAN (Friday, April 25, 2008 – 09.00 AM).The another meeting we attended to resolve watsan issue was discussed with WATSAN American Red Cross team, we met with Ms. Shinta M. Sianturi (WATSAN senior project engineer) firstly we introduced our program to them and then we asked where their WATSAN project in Aceh and Nias, then we asked the possibility to refer some cases we handled to them, they said is ok so long as in American red cross working areas. And then MS Shinta gave us list areas AMREDCROSS working at the moment (Friday, April 25, 2008 – 11.00 AM).

Thursday, November 13, 2008

Punge Jurong community need clean water


Village : Punge Jurong - Banda Aceh
type of activity : Community technical assistant

Community technical assistant meeting in Punge Jurong Banda Aceh, we were discussed to solve the community case about the clean water in Punge Jurong village, there are 250 households not receive yet clean water from PDAM. In Punge Jurong villages PDAM already put mind pipe underground beside the road last two years but until now they didn’t have connected to houses, the community advocacy unit have been negotiated with previous PDAM director, he said will follow up immediately but until now PDAM not implemented yet, according to community said in meeting we conducted last week that PDAM want to connected if community already pay during the months before tsunami came (2004) and have to pay also for the months (January 2008 until currently month). Punge Jurong community don’t want to pay because for them impossible to pay for before tsunami (back payment) also community objection to pay for the months during 2008 (January-November), this not rational because they not yet receive water and the pipe connection why community have to pay for this. Our planning for this case will report to Banda Aceh Major about PDAM policy and make the community can’t receive the water clean. What we discussed with Punge Jurong community was how to find out the solution about this case, what we need to do together to pressure the PDAM and Banda Aceh Major, the result was Cau team will mediate between Punge Jurong community and Banda Aceh Major.

Jahitan saya tidak mencukupi biaya sekolah anak-anak



Name client : Indani
Alamat : Peuniti, Kec. Baiturrahman Banda Aceh
Hp : +6285277003XXX
Type of activity : problem identification session

Indani seorang janda dengan enam orang anak empat diantaranya masih berusia sekolah. Suaminya meninggal 2 tahun lalu karena sakit Hernia. Sepeninggal suamnya ia mengantungkan biaya hidup dari menjahit pakaian dengan sebuah mesin jahit tua, dua anaknya masih dibangku SD, satu dibangku SMP dan satunya lagi dibangku SMA.

saya butuh beasiswa untuk anak-anak saya agar tidak menghambat sekolah mereka, ujar Indani sambil menangis, karena saya sering di tegur guru-guru anak-anak untuk melunaskan uang buku dan SPP, hasil prestasi anakanak alhamdullilah bagus-bagus dan memuaskan. Mereka pernah menerima dana sebesar Rp 300.000,- untuk si kakaknya duduk di bangku SMU dan SMP sedang adiknya yang bungsu hanya Rp 75.000,- hanya cukup di gunakan untuk membeli seragam sekolah dan sepatu, saya mohon agar ada yang meringankan biaya pendidikan mereka, mungkin bisa dengan bantuan beasiswa” kata Indani kepada team Advokasi Palang Merah Irlandia.

Silvia, staf Advokasi Palang Merah Irlandia menjumpai Indani sepekan setelah Indani mengirimkan pesan singkat ke 08126990333 untuk menyampaikan unek-unek yang dirasakannya selama ini, dirumah yang sangat sederhana terpencil dari rumah masyarakat lainnya Indani menerima Silvia yang bertamu ke rumahnya, indani sedang sakit pada saat kunjungan tersebut hamper dua hari ia lebih banyak terbaring di tempat tidur karena tekanan darahnya turun, dari kunjungan ini terlihat keinginan dan kemauan ibu indani untuk mendapatkan beasiswa kepada anak-anaknya untuk bisa memperoleh pendidikan bagi anak-anak agar bisa memperbaiki masa depan yang lebih baik.

Wednesday, November 12, 2008

Panti Asuhan Membutuhkan Air Bersih


Name : Salahuddin
Alamat : Jln. Langsa Medan km. 7,5 Komp. MUQ Keunire Kec. Pidie

Salahuddin seorang guru dan pengurus panti asuhan yatim piatu dibawah dinas sosial kabupaten Pidie yang menerima anak yatim dari umur 9–18 tahun dari daerah sekitar panti tersebut, untuk saat ini jumlah anak asuh berjumlah 54 anak laki-laki 28 orang dan perempuan 26 orang dengan pengasuh panti 5 orang dan guru sekitar 20 orang dengan seorang pimpinan dayah.
Anak-anak Panti Asuhan sangat membutuhkan sarana air bersih untuk kebutuhan sehari-hari baik untuk mandi, cuci maupun untuk memasak, biasanya untuk kebutuhan tersebut hanya ada 2 sumur utama untuk yang bisa digunakan karena tekstur tanah tambak yang airnya asin dan tidak jernih. Untuk memperoleh air yang bersih dan tidak asin harus menambah kedalaman sumur sekitar 15 cincin sumur atau sekitar 10 meter, panti asuhan ini sangat membutuhkan sumur bor untuk keperluan anak-anak panti asuhan. Pada saat musim kemarau sumur tidak air, hanya di musim hujan sumur tersebut bisa menampung air yang cukup untuk kebutuhan anak-anak. Pihak panti sudah pernah mengirim proposal ke Dinas Sosial dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pidie tetapi belum ada tanggapan karena masing-masing dinas tersebut sedang menunggu anggaran (APBD) daerah kabupaten Pidie. Kita tunggu hasil tindaklanjut dari Tim Advokasi Palang Merah Irlandia untuk memfasilitasi nya dengan dinas sosial Pidie…kasus ini tangani oleh; Zulfikar Gamal

Monday, November 10, 2008

Warga Cot Batee-Bireun minum air asin nan kuning bertahun-tahun

Muchlis mewakili korban tsunami sebanyak 65 KK yang menempati tanah relokasi dan rumahnya dibangun oleh UMCOR, serah terima rumah bantuan sudah dilakukan setahun yang lalu. Menurut keterangan dari Muchlis semua rumah bantuan sudah ada sumur tetapi karena kondisi daerah yang berdekakatan dengan pesisir pantai dan tekstur tanahnya yang kurang bagus maka airnya menjadi asin dan berwarna kuning jadi tidak bisa konsumsi untuk air minum oleh warga sekitar, hanya bisa di gunakan untuk mandi dan mencuci. Warga juga sudah melakukan penyaringan untuk air dengan menimbun sumur dengan pasir dan memakai ijuk, tetapi hanya bisa bertahan untuk 2 hari saja setelah itu air akan berubah warnanya, untuk saat ini warga sangat membutuhkan sarana prasarana air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
Muchlis sudah pernah melapor kepada pihak UMCOR dan perintah kabupaten Bireuen tetapi tidak ada tanggapan yang menggembirakan dari keduanya.Menurut keterangan dari Muchlis dan warga sekitar bahwa sudah ada pipa PDAM di areal perumahan warga, tetapi belum ada sambungan air dari PDAM kabupaten Bireuen. Tim Advocacy palang merah akan memfasilitasi warga Cot Batee dengan PDAM Bireun, kita tunggu kasus ini…

Di Cot Baroh-Geulumpang Tiga Pidie, 500 Meter Jalan Baru Bisa Minum dan memasak


Name : Karimudin
Alamat : Cot Baroh, Glumpang Tiga, Pidie jaya

Tim Advokasi Palang Merah Irlandia diwaktu verifikasi langsung kelapangan tidak bisa bertemu Karimudin katanya berhalanganada acara keluarga di Mereudu, Karimuddin mewakilkan 2 orang untuk bertemu tim Advokasi Palang Merah Irlandia yaitu Zaiduri sebagai sekdes dan kepala dusun Sukran mereka mewakili masyarakat Desa Cot Baroh yang kekurangan air bersih, dalam pertemuan tersebut terungkap mereka bukan korban tsunami dan gempa, wilayahnya juga bukan areal tsunami, mereka mengungkapkan bahwa setiap Rumah tangga mempunyai sumur dengan kedalam 15 cincin tapi air sumur mereka asin tidak layak untuk minum, untuk kebutuhan rumah tangga memasak mereka harus mengambil air dari sumur yang berjarak kira kira 500 meter, mereka mempunyai sumur untuk umum yang dibangun masyarakat sendiri dan bantuan CARDI ada satu unit, Karuimudin mengungkapkan mereka pernah mengajukan juga ke UNICEF melalui stafnya Mukadis tapi proposal mereka tidak disetujui karena UNICEF mengutamakan bantuan untuk sekolah dan rumah sakit, mereka juga pernah mengajukan ke PEMDA kabupaten tapi tidak ada tanggapan. Menurut pak sekdes kemungkinan sumur-sumur di setiap warga tidak asin jika mereka pake sumur bor dengan kedalaman lebih dari 15 cincin. PDAM juga belum masuk kewilayah tersebut. Sekali lagi pak karimudin mengungkapan bagaimana Palang Merah Irlandia bisa memfasilitasi untuk adanya akses air yang lebih mudah, kasus ini ditangani Bambang Nurcahyo…

Masih ada kusta di Aceh?


Hasan tuha peut dan coordinator pengungsi di Pangwa, beliau mewakili komunitas kusta sebanyak 66 kepala keluarga, mereka korban gempa dan tsunami, rumah mereka dipesisir pantai 500 meter dari laut (sebelum tsunami) tsunami pada 24 Desember 2004 yang lalu membuat semua rumah hancur, tidak memungkinkan bagi mereka membangun rumah ditempat semula, akhirnya mereka direlokasi ke Pangwa masih satu gampong tapi jaraknya dengan laut lebih jauh 1 km. Tempat relokasi di bantu oleh Caritas German lengkap dengan rumah, Mata pencaharian warga relokasi adalah nelayan dan bagi ibu-ibu rumah tangga mereka bernak ayam sekedarnya. menurut mereka penghasilan sebagai nelayan dan peternak ayam tidak cukup untuk menghidupi keluarga, mereka ingin sekali mempunyai mata pencaharian lain seperti bertani, bertani dan berdagang, dua NGO dan BRR selain Caritas German yang pernah membantu komunitas mereka yaitu WHO, CWS , WHO Membantu penyembuhan mereka untuk penyakit Lepra (kusta), CWS pernah membantu satu boat dan alat penangkap ikan dan itupun sudah rusak, sedangkan musalla di bantu BRR, itulah hasil dari verifikasi yang dilakukan oleh tim Advokasi palang Merah Irlandia yang mengambarkan mereka sangat membutuhkan pendampingan yang lebih lama untuk bisa mengembangkan hidup untuk masa depan yang lebih baik. kasus ini akan ditindaklanjuti oleh; Bambang Nurcahyo...

Sunday, November 9, 2008

Pindah Daerah, British Red Cross Anulir Bantuan Rumah


Nama : Husnaddin
Umur : 34
Alamat : Desa Paya Seumantok, Kec. Kr. Sabee, Aceh Jaya

Bapak Husnaddin menyampaikan pengaduan kepada tim advokasi Palang Merah Irlandia untuk membantunya mendapatkan jatah rumah bantuan sebagai korban Tsunami. Saat Tsunami klien tinggal di desa Gampong Baroe, Kec. Teunom. Istri dan anaknya meninggal seketika. Sejatinya British Red Cross (BRC) telah memvalidkan data klien sebagai penerima rumah bantuan di Teunom. Bulan Juli 2006 klien pindah (tidak betah dan trauma karena tinggal sendiri) ke desa Paya Seumantok, Kec. Kr. Sabee. Ia memohon agar BRC dapat merelokasi bantuan rumah dari Teunom ke Kr. Sabee. Oleh sebab tidak punya program untuk wilayah kerja Kr. Sabee, BRC tidak bisa memenuhi permohonan klien. Akhirnya bantuan rumah dari BRC resmi dibatalkan. Di Paya Seumantok, klien mendaftarkan dirinya ke BRR. Berita Acara Kesepakatan Perencanaan Tata Ruang Desa Paya Seumantok mencantumkan nama klien dicantumkan dalam daftar usulan rumah yang bersifat relokasi. Sampai kini belum ada kabar sejauh mana proses validasi kasus klien di BRR. Tim advokasi akan memfollow up kasus ini, semoga korban tsunami yang trauma seperti ini segera ada pemberi bantuan yang lain ada untuk meringankan beban hidup yang dialami seperti ini…

by. Afrizal Umar

Berguru pada Perjuangan Ibu Suraiya


Nama : Suraiya
Umur : 45
Alamat : Desa Paya Seumantok, Kec. Kr. Sabee, Aceh Jaya

Desa Paya (Seu)mantok berjarak + 3 KM dari Keude Krueng Sabee. Bertugas sebagai Kepala Sekolah Paya Mantok, Ibu Suraiya aslinya merupakan penduduk Keude Krueng Sabee. Tsunami telah membinasakan harta bendanya. Rumah yang dulu dia tempati bersama keluarga hanya membekas pondasi saja. Sampai sekarang belum ada bantuan mana pun di bekas rumahnya di Keude Krueng Sabee. Sekonyong-konyong ia malah mewakafkan sebagian dari lokasi bekas rumahnya ke Komite Pembangunan untuk perluasan Masjid Kr. Sabee. Bukan sekali Ibu Suraiya mengurus bantuan perumahan melalui Komite Gampong ke BRR. Setiap berkasnya dinyatakan hilang, atau pada saat diminta mendata berkas lagi, ia segera melengkapinya. Tetap saja bantuan belum berpihak padanya. Merasa jemu dan nyaris pasrah, problem inilah yang diadukan Ibu Suraiya kepada tim advokasi Palang Merah Irlandia setelah membaca iklan CAU di Serambi Indonesia. Perasaan lega terungkap dari Ibu yang bersuamikan M. Jam Hasan ini, saat tim advokasi dari Banda Aceh berkunjung ke kediamannya di Paya Mantok, Aceh Jaya itu. Terharu bukan semata karena beratus kilometer jarak yang ditempuh tim advokasi (kayak napak tilas aja..hehe), tetapi melebihi semua itu adalah kemauan untuk mendengar keluh kesah—curhat kale`, di samping keinginan memfasilitasi kasus klien. Ibu Suraiya menguraikan, bahwa kediamannya sekarang di Paya Mantok—bukan wilayah Tsunami—adalah hasil jerih payahnya, dibangun dengan modal kredit bank, tanpa bantuan donatur mana pun. Rumah ini dibangun setelah Tsunami, meskipun pemasangan pondasi telah dikerjakan sebelumnya. Ada sinyalemen beredar seolah rumah itu hasil bantuan sebuah INGO, sebab Ibu Suraiya bekerja sebagai relawan di beberapa lembaga pasca-Tsunami. Pada saat mendaftarkan bantuan perumahan awal-awal usai Tsunami, data klien (a.n. suaminya: M. Jam Hasan) dinyatakan valid. Begitu pergantian geusyik baru, datanya disinyalir hilang. Klien pernah juga mengusul supaya bantuan rumah bisa dibangun di desa Mon Mata sebab lokasi bekas rumah di Keude Krueng Sabee terlalu dekat dengan bibir sungai. Sekalipun klien memiliki tanah lapang di desa Mon Mata, tetapi oleh geusyik setempat keinginan itu dianulir sebab klien bukan korban Tsunami dari desa itu. Dengan alasan itu pula Faskim BRR Samsul Kamal yang pernah ditugaskan di wilayah Kr. Sabee tidak memforward berkas klien ke kantor BRR. Mudah ditebak jika pada gilirannya data KK klien tidak terdaftar sebagai calon penerima manfaat BRR. Bahkan Camat Kr. Sabee sekalipun terheran mengetahui bahwa klien belum mendapatkan bantuan rumah. Segera setelah itu atas rekomendasi Camat, pengurusan berkas kesekian kalinya disusul lagi melalui fasilitasi desa. Saat tim advokasi memfasilitasi kasus ini ke BRR Aceh Jaya, kami diterima baik oleh Asperkim T. Asrizal didampingi Syarifah Faskim Kr. Sabee sekarang. Kesimpulan diskusi kami menyiratkan bahwa [1] geusyik Keude Kr. Sabee tidak menyerahkan berkas permohoban bantuan rumah Ibu Suraiya ke meja BRR, [2] sampai sekarang tidak ada data susulan dari Kr. Sabee. Syahdan, Asperkim Asrizal menyarankan agar segera mungkin Ibu Suraiya mengurus kembali berkas permohonan karena menjelang dua minggu semua data susulan dari Aceh Jaya akan dikirim ke kantor BRR Pusat untuk plot bantuan tahun 2009. Tim advokasi mengabari klien informasi tersebut. Dua hari berselang, kami menerima SMS ini: “Pak bahan kami udah kami serahkan ke BRR, jadi kami mohon tlg bpk cek sbentar jgn sampai hlang lagi kek yg sudah-sudah”. Ibu Suraiya, empatimu besar, mudah-mudahan simpati mengaismu. Semoga!

by; Afrizal Umar

Warga Panton Makmur Menuntut Jatah Rumah Bantuan


Nama : Mukhlis Anwar
Umur : 36
Alamat : Desa Panton Makmur, Kec. Kr. Sabee, Aceh Jaya

Meski sudah mendekati genap empat tahun pascamusibah, begitu banyak korban gempa dan Tsunami yang belum memperoleh haknya, terutama di bidang bantuan perumahan. Sebagaimana dilaporkan oleh Bapak Mukhlis Anwar, korban Tsunami dari desa Panton Makmur, yang sekarang bertugas di Dinas Perairan Kota Calang. Menindaklanjuti pengaduan yang disampaikan pada medio September lalu, tim Advokasi Palang Merah Irlandia berkesempatan melihat langsung situasi yang dikeluhkan klien di desa Panton Makmur pada 30 Oktober 2008. Klien mengatakan bahwa sampai saat ini sebanyak 38 KK di Panton Makmur belum mendapatkan rumah bantuan, termasuk geusyiknya. Desa Panton hanya berjarak beberapa ratus meter dari bibir laut, tergolong sangat parah diamuk Tsunami. Justru warga di sini terheran melihat bantuan rumah lebih dulu diprioritas di desa lain sekitarnya. Sesungguhnya di desa ini UNHCR telah membantu 138 unit rumah, kendati dengan design seadanya. Namun, faktanya, terdapat warga yang sama sekali belum memperoleh rumah bantuan. Memang beberapa waktu lalu BRR Aceh Jaya menawarkan bantuan rumah via kepala desa Panton, Bapak Ramli. Hasil kesepakatan, tawaran itu tidak diterima lantaran BRR cuma memperuntukan 5 unit rumah saja di desa tersebut sedangkan jumlah yang pantas dibantu berjumlah 38 KK. Menurut Bapak Ramli, bila ia menerima 5 unit rumah bantuan BRR dimaksud, maka jumlah itu mewakili bantuan secara keseluruhan pada warga Panton Makmur. Artinya, tidak akan ada lagi bantuan rumah kelak di desa tersebut, terutama dari BRR. Terang saja Pak Geusyik juga menghindari konflik sebab porsi 5 unit tidaklah seimbang dengan kapasitas 38 KK yang dibutuhkan. Berdasarkan kondisi riil inilah, Bapak Mukhlis Anwar dan Pak Geusyik meminta bantuan tim Advokasi Palang Merah Irlandia berupaya menerobos lembaga/NGO yang masih punya program di bidang perumahan—kecuali BRR, supaya membantu warga Tsunami di desa panton Makmur... Bersama kita bisa! Insya Allah, Pak!

by; Afrizal Umar

Habitat Pergi, Warga Minta Difasilitasi Tim Advokasi


Nama : Amrizal
Umur : 34 tahun
Alamat : Desa Blang Dalam, Kec. Sampoiniet, Aceh Jaya

Amrizal, mewakili warga penerima bantuan rumah Habitat for Humanity di desa Blang Dalam, Kec. Sampoiniet-Aceh Jaya, melapor kepada tim advokasi Palang Merah Irlandia. Ia mengeluhkan rumah bantuan Habitat yang dikerjakan dengan kualitas buruk; rata-rata dinding, platform, daun pintu, dan lantai mengalami keretakan. Cat yang dipakai juga sudah banyak yang terkelupas. Parahnya lagi, menurut klien, tidak ada serah terima rumah dari Habitat kepada warga penerima bantuan. Sehingga, jika terdapat kerusakan semacam ini warga tidak tahu harus melapor kemana. Sebab kantor Habitat yang dulunya berdomisili di wilayah setempat sudah tidak beraktivitas lagi. Penting dicatat, Habitat membangun 107 unit rumah bantuan di desa Blang Dalam: 2 unit di antaranya belum siap, sementara 2 unit dari jumlah tersebut dibangun di desa Rentang—bukan area Tsunami, masih di Kec. Sampoiniet—sebagai kantor mereka. Dua tahun usai berakhir program, kini kedua unit rumah (kantor) tadi menjadi aset desa Rentang. Kunjungan tim advokasi Palang Merah Irlandia ke desa klien pada akhir Oktober 2008 lalu untuk memperoleh informasi lebih rinci atas pengaduan yang pernah disampaikan satu bulan sebelumnya. Pada saat yang sama klien dan warga setempat berharap tim advokasi Palang Merah Irlandia bisa memfasilitasi permasalahan yang mereka hadapi kepada Habitat for Humanity.

by; Afrizal Umar

Melanggar Peraturan, Canadian Red Cross Stop Rumah Bantuan


Nama : Astiar
Umur : 31
Alamat : Desa Lhok Kruet, Kec. Sampoiniet, Aceh Jaya

Pada penghujung bulan September 2008 tim Palang Merah Irlandia menerima pengaduan dari salah seorang korban Tsunami di desa Lhok Kruet, Kec. Sampoiniet, Aceh Jaya bernama Astiar. Ia mempertanyakan status rumah bantuan yang telah dibangun oleh Canadian Red Cross (CRC), tapi kemudian bantuan tersebut dibatalkan, meskipun pembangunan fisik rumah tersebut sudah rampung 40 persen. Akhir Oktober 2008 tim advokasi Palang Merah Irlandia berkesempatan berkunjung ke rumah klien, mengamati lebih dekat masalah yang ia hadapi. Klien menuturkan kronologis permasalannya: awalnya April 2007 adalah masa di mana klien mendaftarkan berkas kepada Komite Gampong untuk melengkapi syarat calon penerima rumah bantuan CRC. Satu bulan kemudian, Mei 2008, pembangunan rumah klien dikerjakan. Pembangunan rumah klien dihentikan pada penghujung tahun 2007. Data klien dianggap bermasalah sehingga pengerjaan rumah bantuan dihentikan. Pada 29 Mei 2008, CRC secara resmi mengeluarkan surat pencabutan status penerima bantuan CRC (Removal from CRC Beneficiary List). Termaktub di dalam surat itu bahwa klien memberikan informasi yang tidak benar pada saat pendaftaran. Disebutkan bahwa sampai dengan 1 Juni 2006 klien masih masuk KK ayahnya dan belum menikah. Peraturan CRC menetapkan bahwa bantuan rumah diberikan kepada korban Tsunami yang telah menikah sebelum 1 Juni 2006. Meresponi surat CRC, klien mengirim surat tanggapan, isinya menerangkan bahwa tidak benar pada tanggal di atas ia masih termasuk KK orangtuanya—sejak Juni 2005, nama Astiar sudah terdaftar sebagai KK baru di desa Lhok Kruet. Begitupun ia mengaku baru menikah setelah 1 Juni 2006, namun ia tidak mengetahui kalau tanggal tersebut menjadi acuan sebagai calon penerima bantuan CRC. Hingga kini rumah bantuan yang dibatalkan itu masih berdiri tegak di depan shelter yang ditempatinya bersama sang istri. Mereka berharap CRC dapat melanjutkan kembali pengerjaan rumah bantuannya. Nyaris pilu, akunya, mengingat beberapa nama penerima rumah bantuan yang kasusnya serupa di desanya justru dapat menikmati bantuan CRC.

by; Afrizal Umar

Monday, November 3, 2008

Terima kasih Unit Pengaduan Keluhan BRR...


Salah Satu kegiatan dari Tim Advokasi adalah mencari informasi dari pemberi bantuan yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi korban gempa dan tsunami, gambar diatas menunjukkan Tim Advokasi Palang Merah Irlandia sedang menanyakan status korban tsunami untuk permasalahan perumahan. Umumnya korban tsunami sering mengadu mengapa rumah yang dijanjikan oleh BRR belum kunjung tiba. Kemudian Tim Advokasi mengunjungi BRR untuk menanyakan apakah nama korban tsunami yang kita dampingi telah termasuk di data base BRR dan apakah statusnya sudah di verifikasi dan valid jika memang valid ya itu sudah tanggung jawab BRR untuk menyelesaikan rekontruksi untuk korban tsunami yang sudah menjadi penerima manfaat BRR, jika data yang kami tanyakan tidak valid di database BRR tapi mereka betul-betul mengalami musibah tsunami dan memang layak harus dibantu atau dengan kata lain memang haknya sebagai korban tsunami, emmm ini baru tanggung jawab Tim Advokasi Palang Merah Irlandia untuk mencarikan pemberi bantuan kepada mereka yang korban dan apabila datanya tidak valid di BRR dikarenakan sipengadu bukan korban tsunami dan dia memang tidak berhak dari segal sudut pandang ini juga tanggung jawab Tim Advokasi Palang Merah Irlandia untuk memberikan mereka pengertian/penjelasan (ya semacam community education lah) mengapa mereka tidak berhak mendapatkannya.

Setiap kali Tim Advokasi Palang Merah Irlandia datang ke unit pengaduan keluhan BRR, mereka selalu ramah tamah dalam menyambut tamu, selalu sabar untuk menerima berbagai macam keluhan yang kami bawa dari korban tsunami dan mereka juga cukup sabar dengan sistem database yang mereka punya (seperti istilah rumah dengan tipe RSS (rumah sangat sederhana), mereka mempunyai database dengan istilah DSSS (database sistem sangat sederhana). Database yang berbentuk dalam file excel dan sebagai lagi berbentuk file PDF, untuk pencariannya pun sangat mudah file-filenya di disimpan dalam folder-folder dengan nama kecamatan dan file (excel dan PDF) dengan nama desa tertentu yang harus dilihat satu-satu jikakala kita ingin melihat data di dalamnya, ya database seperti itulah…bisa dibayangkan kesabaran mereka dalam mencari ataupun mencocokkan nama penerima manfaat, Alhasil, semua informasi yang kami terima bersifat akurat dan dapat di percaya, untuk rumah kapan akan dibangun atau kapan akan diverifikasi...jangan ditanya sama mereka...mereka pasti jawabnya tidak tahu...ibu-bapak tunggu saja mungkin bulan depan akan diverifkasi atau akan dibangun...staff yang sangat familiar di UPK seperti: Juliadi, Andrian, Mufti dan Rijal. Terimoeng gunaseh…cut bang2 loen. Bek bren ngon kamoe beuh.
By: Lenni Octoria